Kisah Gadis Kecil Di Pecenongan

Kisah ini terjadi di Jalan Pecenongan, Jakarta, saat lima orang pengurus sebuah yayasan makan malam di sebuah warung tenda sehabis rapat.

Begitu duduk, mereka langsung diserbu pedagang asongan. Seorang diantara pengasong itu adalah gadis kecil berusia 10 atau 12 tahun. Ia menjajakan kue. Namun, karena asyik ngobrol, kehadiran para pedagang ini tidak mereka hiraukan.

Saat pesanan tiba, para pedagang itu pun mundur satu persatu. Sebagian mengalihkan dagangannya ke meja lain, dan sisanya beristirahat di pinggir jalan. Namun, gadis kecil ini tetap bertahan. Dengan tabah dan sabar, diiringi sorot mata yang membujuk, dia terus berdiri di samping para tamu yang sedang makan ini.

Tekad gadis ini membuat seorang ibu jatuh iba. Dia membuka dompetnya, mengambil pecahan seribu rupiah, dan menyodorkannya kepada si gadis. Namun gadis ini menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tanda menolak. Si ibu menambahnya seribu lagi, namun tetap saja ditolak. Barang kali kurang, demikian batin si ibu. Dia pun menambah hingga menjadi tiga ribu. Aneh, gadis ini tetap menolak.

Sikap gadis ini menarik perhatian semua tamu di meja tersebut. Lalu, seorang bapak berkata dengan nada heran, “Dik, kenapa ditolak?”

“Kata mama, saya tidak boleh mengemis. Katanya, saya harus jualan.”

Jawaban gadis itu menyentakkan perasaan. Mereka takjub dan kagum. Bagaimana mungkin gadis ini menolak pemberian tiga ribu rupiah — yang menurut taksiran, kalau pun dia berhasil menjual semua kuenya untungnya tidak akan sebesar itu — demi sebuah prinsip, pesan ibunya.

Para tamu tersentuh, dan tiada pilihan lain yang cukup beradab: mereka pun membeli semua kue gadis ini seharga Rp. 15.000 rupiah tanpa ditawar. Setelah itu, barulah gadis kecil ini tersenyum lebar, mengucapkan terimakasih, dan meninggalkan mereka dengan ceria.

*****

Kisah ini adalah tentang harga diri, tentang martabat. Mengemis bukanlah pekerjan haram, namun tentu bukan pekerjaan terhormat. Ketegaran gadis kecil penjaja kue yang tidak mau menerima belas kasihan — lebih tepat: uang receh pengusir dirinya — dan bersikukuh menjual dagangannya patut dicontoh. Penampilan luar sering menjadi tanda harkat dan derajat seseorang. Semakin keren atau bermerek penampilan orang, perhatian suka lebih tertuju kepadanya.

Mungkin benar, tampilan luar yang mentereng: busana mahal, perhiasan mengkilap, mobil mewah bisa menjadi tanda bahwa orangnya berasal dari kalangan atas. Namun kalau mentalnya dibedah, boleh jadi cuma mental pengemis yang didapat. Sebaliknya, orang sederhana, bersahaja, sering dipersepsi sebagai kalangan bawah, tetapi bisa jadi rasa hormat diri mereka justru lebih tinggi.

Gadis kecil tadi mengajarkan: kehormatan bukanlah apa yang kita tampilkan ke luar, tetapi apa yang kita pancarkan dari dalam: budi pekerti, prinsip hidup, ketegaran jiwa, dan keterhormatan.

Etos 7 berbicara tentang kehormatan. Marilah kita menjaga martabat diri kita tetap tinggi dengan menolak melakukan hal-hal yang hina.

Leave a comment